Kamis, 19 April 2012

Kisah Salman al-Farisi

Kisah Tauladan Salman al-Farisi

Salman al-Farisi dilahirkan di desa Jayyan suatu kawasan di Persia Irak. Ayahnya seorang pemimpin dan tokoh yang paling kaya serta memiliki kedudukan yang tinggi di Jayyan. Sejak lahir Salman adalah seorang anak yang paling disayangi oleh ayahnya, karena saking sayang Salman tidak dibolehkan keluar rumah oleh ayahnya, bagaikan gadis pingitan saja, karena khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan dengan anaknya. Salman berasal dari keluarga dan masyarakat yang taat kepada agama Majusi, karena ketaatannya itu, Salman diangkat menjadi pemimpin untuk mengurus soal “api” yang akan disembah oleh kaumnya. Kepada Salman diserahkan tanggung jawab untuk menjaga agar nyala api tidak padam di sepanjang waktu.


Pada suatu ketika ayahnya yang punya kebun luas dan mengurus kebunnya sendiri, berhalangan untuk ke kebun, kemudian menugaskan Salman untuk menggantikannya dan berkata :“Wahai Salman, anakku. Sebagaimana engkau ketahui, karena ada sesuatu masalah, ayah hari ini tidak bisa mengurus kebun. Gantikanlah ayah kali ini dan pergilah engkau ke kebun untuk mengurus segala sesuatunya di kebun”. Lalu Salman keluar menuju kebun. Dalam perjalanan Salman melewatgi sebuah gereja dan dia mendengar suara-suara orang Nasrani itu sedang melakukan ibadah, hal ini menarik perhatiannya. Setelah memperhatikan rangkaian ibadah Nasrani itu, Salman tertarik dengan cara ibadahnya, sampai akhirnya Salman suka kepada agama itu dan bergumam “Demi Allah, ini jauh lebih baik dari agama yang aku ikuti selama ini! Dan Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai matahari hampir tenggelam. Aku tidak akan pergi ke kebun ayahku”. Kemudian dia bertanya kepada orang-orang Nasrani itu  “Dari mana agama ini?”. Mereka menjawab “Dari Negeri Syam”.

Setelah menjelang malam Salman sampai di rumah dan ayahnya menyambutnya dan menanyakan apa yang telah dikerjakannya di kebun, Salman menjawab “Ayah, di perjalanan aku melewati orang-orang yang sedang beribadah di suatu gereja, aku tertarik pada apa yang ku lihat, yaitu mengenai tata cara agamanya. Aku akhirnya berdiam bersama mereka sampai matahari terbenam”. Ayahnya kaget mendengarkan cerita Salman dan berkata “Wahai anakku, agama itu tidak memiliki kebaikan sama sekali. Agamamu dan agama nenek moyangmu jauh lebih baik dari agama itu!”. Salman menjawab “Tidak mungkin, demi Allah, sungguh agama mereka jauh lebih baik dari agama kita!”. Ayahnya menjadi takut mendengar cerita itu dan khawatir Salman akan keluar dari Majusi. Lalu Salman dikurung dan kakinya dibelenggu di dalam rumah.

Keadaan itu tidak membuat Salman putus asa, suatu ketika dia memperoleh kesempatan untuk menghubungi pimpinan agama Nasrani, Salman berpesan “Bila ada rombongan yang hendak pergi ke negeri Syam dan singgah di tempat kalian, tolong beritahu aku!”. Tak berapa lama berselang, datanglah suatu rombongan yang mau berangkat ke negeri Syam, mereka segera memberitahu Salman. Mendengar itu Salman berusaha melepaskan diri dari pasungannya dan akhirnya berhasil. Dengan sembunyi-sembunyi Salman keluar dan kabur mengikuti rombongan itu sampai ke negeri Syam.

Sesampainya di negeri Syam Salman menuju perkumpulan Nasrani dan bertanya “Siapakah orang terbaik dari penganut agama ini?” Mereka menjawab “Uskup (tingkatan kewalian dalam gereja) dan pemimpin gereja”. Salman lalu menemui Uskup dan berkata “Aku sangat tertarik untuk masuk agama Nasrani, aku ingin selalu dekat denganmu, melayanimu, belajar darimu serta beribadah bersamamu” Uskup menjawab “Silahkan masuk!” selanjutnya Salman menjadi pelayan Uskup tersebut. Tidak berapa lama tinggal bersama di gereja, Salman menyadari bahwa sebenarnya Uskup itu adalah orang yang tidak baik. Dia menyuruh para pengiktunya untuk bersedekah dengan menjanjikan pahala, namun dia memanfaatkan infak itu untuk dirinya sendiri, hingga terkumpul dari hasil infak itu sampai tujun gentong emas.

Salman sangat membenci perbuatan Uskup itu, namun tak lama kemudian Uskup itu meninggal. Waktu pemakamannya Salman berkata kepada kaum Nasrani yang melayat “Sesungguhnya pemimpin kalian ini orang yang tidak baik, dia menyuruh bersedekah dan menjanjikan pahala, namun setelah infak terkumpul dia menyimpannya untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk kaum fakir miskin” Kaum Nasrani itu menjawab “Dari mana engaku mengetahui hal itu?” Salman menambahkan “Aku akan tunjukkan kepada kalian tempat penyimpanannya”. Setelah mengetahui hal sebenarnya mereka berkata “Demi Allah, kita tidak akan mengubur dia”. Akhirnya jenazah Uskup itu disalib dan dilempari dengan batu.

Kemudian pendeta ini digantikan oleh seorang pendeta yang berakhlak baik, figur yang zuhud terhadap dunia, berakhlak mulia, cinta terhadap akhirat dan rajin beribadah siang dan malam. Salman sangat mencintai gurunya yang satu ini. Namun tak lama kemudian pendeta ini pun menemui ajalnya. Sebelum pendeta ini meninggal, Salman bertanya kepadanya, siapa orang orang yang masih berada di atas agama ini? Pendeta itu mengatakan “Anakku, demi Allah, pada hari ini aku tidak mengetahui ada seseorang yang menganut ajaran sepertiku. Orang-orang telah binasa dan merubah ajaran Nasrani, mereka telah meninggalkan banyak ajarannya, kecuali seseorang di daerah Maushil, Fulan, dia menganut ajaran sepertiku. Ikutilah dia”.

Selesai prosesi pemakaman pendeta ini, Salman menuju Maushil dan berguru kepada seorang Nasrani di sana. Lagi-lagi, maut pun menjemput gurunya. Sebelum gurunya meninggal, Salman bertanya pula, Siapa yang masih berada di atas ajaran ini? “Fulan di daerah Nashibin” jawab gurunya. Hal ini berulang kali terjadi pada diri Salman, berpindah dari satu guru ke guru yang lain, dari satu tempat ke tempat lain, demi mencari hidayah ajaran agama yang benar, sehingga suatu ketika Salman pernah berujar “saya berganti guru sebanyak belasan kali, dari satu guru ke guru lainnya”.

Selanjutnya Salman berguru kepada seorang pendeta di kota ‘Ammuriyah, namun tak lama kemudian pendeta itupun meninggal dunia. Sebelum pendeta itu meninggal dunia, Salman bertanya dengan nada yang sama, siapa orang yang masih setia memeluk agama Nasrani yang murni? Pendeta pun menjawab “Anakku, Demi Allah, sekarang ini saya tidak mengetahui siapa yang menganut agama seperti kita ini. Tetapi sudah dekat zaman Nabi yang diutus membawa agama Nabi Ibrahim, tempat hijrahnya banyak pohon kurma dan diapit dua tempat yang banyak batu hitam (Madinah). Dia memiliki tanda yang tidak tersembunyi; mau memakan hadiah, tidak mau memakan sedekah dan antara dua pundaknya ada tanda kenabian. Jika kamu tinggal bersamanya di negeri itu, lakukanlah”.

Selang beberapa lama kemudian, datanglah sekelompok saudagar dari negeri Arab, Salman pun meminta tumpangan kepada mereka dengan bayaran beberapa sapi dan kambing hasil pekerjaannya. Di tengah perjalanan, tepatnya di Wadi al-Qura saudagar tersebut menzalimi Salman. Dia menjual Salman sebagai budak kepada seorang Yahudi. Tak lama tinggal bersama Yahudi itu, Salman dijual lagi kepada seorang Bani Quraizhah dari Madinah, Salman pun dibawa ke sana. Ketika memasuki kota Madinah, Salman paham, inilah kota yang dimaksud oleh gurunya dulu.

Pada masa itu Rasulullah Saw. pun diutus oleh Allah, beliau tinggal di Makkah. Salman tidak mengetahui tentang Rasulullah karena kesibukannya sebagai budak. Namun ketika Nabi Saw. hijrah ke Madinah, seorang sepupu tuannya tergopoh-gopoh mengeluhkan sesuatu “Wahai Fulan, semoga Allah membinasakan Bani Qailah (Anshar), Demi Allah! Hari ini mereka berkumpul di Quba, menemui seseorang di Makkah, dia menyatakan bahwa dirinya Nabi” kata sepupu tuannya.

Salman yang ketika itu sedang berada di atas pohon gemetar mendengar berita ini, sehingga dirinya hampir saja jatuh dan menimpa tuannya. Salman kemudian turun dan bertanya kepada sepupu tuannya “Apa katamu? Apa katamu?”. Tuannya marah dan memukulnya sambil menghardik Salman “Apa urusanmu! Kembali bekerja!” bentaknya. Salman menjawab “Tidak, saya hanya ingin memastikan saja”.

Malamnya Salman mengambil perbekalan yang dia kumpulkan, kemudian pergi menuju Quba untuk menemui Rasulullah. Sesampai di Quba Salman langsung menuju Rasulullah dan mengatakan “Saya diberitahu bahwa tuan adalah seorang yang shaleh dan sahabat tuan adalah orang yang membutuhkan. Inilah milik saya untuk disedekahkan” ujar Salman mengulurkan bekalnya kepada Nabi. Kemudian Rasulullah berkata “Makanlah kalian” sedangkan beliau tidak menyentuhnya sama sekali. “Ini satu tanda” gumam Salman dalam hati. Kemudian Salman pun pulang lagi ke rumah tuannya.

Kemudian ketika Rasulullah hendak berangkat ke Madinah Salman mendatangi beliau lagi, membawa bekal yang lebih banyak dari sebelumnya dan mengatakan “Saya melihat tuan tidak memakan sedekah, ini ada hadiah untuk tuan sebagai bentuk pemuliaan saya kepada tuan”. Rasulullah menyambut dan memakan hadiah itu serta mengajak sahabatnya untuk ikut makan bersama beliau. Salam berguman dalam hati “Dua tanda”.

Hari berikutnya Salman kembali menemui Nabi di pemakaman Baqi’. Ketika itulah Salman melihat punggung Nabi. Untuk memeriksa tanda ketiga yang berupa tanda kenabian di antara pundak beliau. Rasulullah memahami keinginan Salman, kemudian Rasulullah menurunkan pakaian atasnya, yang waktu itu berupa selendang. Waktu Salman melihat tanda kenabian di punggung beliau, dia memeluk Rasulullah, mencium Rasulullah dan menangis. Setelah sekian lama merindukan hidayah, akhirnya Salman pun bertemu dengan pembawa panji hidayah itu. Rasulullah yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam. Makhluk yang pantas dibela sampai titik darah penghabisan. Tak heran, Salman pun kemudian menjadi salah seorang benteng Rasulullah dalam beberapa peperangan.

Kisah Cinta Salman Al-Farisi (Cinta Tak Harus Memiliki)

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yanghalus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.
”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua,
shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”???
Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.
Demikianlah kisah indah Abu Abdillah Salman al-Farisi, seorang sahabat mencari jati diri. Kesulitan demi kesulitan dialaminya demi mencari kebenaran. Kasih sayang dari ayahnya tak mampu menghentikan langkahnya untuk memburu kebenaran. Begitulah jiwa yang telah dikehendaki Allah, jiwa yang dikehendaki-Nya menerima hidayah. Semoga Allah meridhai dan merahmatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar